I.
PENDAHULUAN
Kehidupan masyarakat dewasa ini diwarnai dengan banyak persaingan dan
perlombaan hidup, dimana orang suka membandingkan dirinya sendiri dengan orang
lain. Suasana yang serba kompetitif ini sering kali diwarnai dengan oleh
tingkah laku yang kurang wajar atau abnormal. Hal ini memicu munculnya banyak
konflik antar individu bahkan antar kelompok. Suasana rivalitas ini cenderung
menonjolkan individualisme dan melonggarkan kontak-kontak sosial.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi banyak
perubahan sosial dan pertumbuhan kebudayaan yang tidak sama, sehingga munculnya
disharmoni, disintegrasi dan disorganisasi masyarakat, yang mengandung berbagai
konflik terbuka. Perubahan sosial yang serba cepat dan mendadak, yang tidak
cocok dengan salah satu atau beberapa sektor kehidupan. Sehingga terjadi
ketidaksinambungan pengalaman kelompok yang satu dengan dengan kelompok sosial
lainnya. Disamping itu juga tidak ada konsensus di antara sesama warga
masyarakat. Kondisi yang demikian ini sering disebut disorganisasi sosial.
Kondisi demikian dapat menggerus dan menghilangkan hubungan manusiawi yang akrab
dimana orang lebih cenderung menonjolkan egoisme. Kontak sosial menjadi
terpecah-pecah dalam fraksi-fraksi, yang pada akhirnya akan memudahkan
timbulnya konflik. Kepecahan dan keanekargaman dengan banyak unsur konflik
inilah yang mengakibatkan masyarakat modern menjadi masyarakat yang
pluralistis. Sehubungan dengan itu, maka manajemen masyarakat moderen identik
dengan manajemen konflik. Dan memimpin masyarakat yang terdiri dari
individu-individu di abad modern ini sama dengan memimpin kelompok-kelompok
yang berkonflik. Fenomena inipun tak luput merambah dunia pendidikan, sehingga
tidak jarang di lngkungan pendidikan diwarnai dengan berbagai kepentingan
kelompok, individu bahkan elit tertentu yang pasti mempengaruhi sistem
manajemen pendidikan dewasa ini.
Ketersediaan sumberdaya di sekolah, baik sumberdaya alam, sosial, manusia,
sarana, dana, kurikulum, dan potensi siswa yang tinggi belum menjamin
kesuksesan proses pendidikan di sekolah[1],
jika seorang kepala sekolah tidak memenej pluralitas yang potensial menimbulkan
permasalahan. Heterogenitas sumberdaya yang dikelola, banyaknya kepentingan
antar unit dalam keseluruhan struktur organisasi, personel pendukung
pelaksanaan pendidikan yang memiliki latar belakang, kepentingan, tugas,
wewenang, dan tanggungjawab yang bervariasi. Persaingan antar komponen, bagian
atau unit, kepentingan, tujuan, kebutuhan, individualisme yang makin merebak,
materialisme eksklusif, dan lain-lain memunculkan potensi terjadinya konflik
dalam kehidupan kelembagaan di sekolah.
II. MANAJEMEN KONFLIK DALAM
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
- Pengertian Konflik
Kata konflik dalam bahasa yunani : configere,
conflictumberarti saling berbenturan. Arti kata ini menunjukkan pada semua
bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan,
perkelahian, oposisi, dan interaksi-interaksi yang antagonis bertentangan.
Dapat diartikan pula bahwa konflik merupakan relasi-relasi psikologis yang
antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan,
interes-interes eksklusif yang tidak bisa dipertemuakan, sikap emosional yang
bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda[2].
Kartini Kartono, mendefiniskan
konflik secara positif, negatif dan netral. Dalam pengertian negatif, konflik
diartikan sebagai: sifat-sifat animalistik, kebuasaan, kekerasan, barbarisme,
destruksi/pengrusakan, penghancuran, irrasionalisme, tanpa kontrol emosional,
huru-hara, pemogokan, perang, dan seterus.
Dalam pengertian positif, konflik
dihubungkan dengan peristiwa: petualangan, hal-hal baru, inovasi, pembersihan,
pemurnian, pembaharuan, penerangan batin, kreasi, pertumbuhan, perkembangan,
rasionalitas yang dialektis, mawas-diri, perubahan, dan seterusnya.
Sedangkan dalam pengertian netral,
konflik diartikan sebagai: akibat biasa dari keanekaragaman individu manusia
dengan sifat-sifat yang berbeda, dan tujuan hidup yang sama pula.[3]
Fink (dalam Kartini Kartono, 1991)
menyebutkan bahwa konflik merupakan “interaksi yang antagonis, mencakup tingkah
laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus,
terkontrol, tersembunyi, tidak langsung; sampai pada bentuk perlawanan
terbuka.”[4]
Muhyadi, mengemukakan definisnya
dengan menekankan pada usaha melawan atau menghalangi orang lain agar gagal
mencapai tujuan.[5] Menurut Chatlinas Said, sebagaimana yang
dikutip oleh Soetopo, menekankan pada
cekcok tujuan, ketidak sejalanan tujuan. Selanjutnya pendapat Mastenbroek, yang
dikutipnya lagi, memberikan pengertian yang agak luas dan memandang konflik
sebagai situasi di mana ketentuan tak berjalan, pernyataan ketidakpuasan, dan
penciutan proses pembuatan keputusan.
Pengertian yang lebih padat dan simpel
dapat dilihat dari pendapat Ross Stagner yang dikutip oleh C.R Mitchel dalam The
Structure of International Cinflict :
“...konflik merupakan sebuah
situasi, di mana dua orang (atau lebih) menginginkan tujuan-tujuan yang menurut
persepsi mereka dapat dicapai oleh salah seorang di antara mereka, tetapi hal
itu tidak mungkin cicapai oleh kedua belah pihak.[6]
Bertumpu pada beberapa pendapat di
atas, dapat disimpulakan bahwa konflik merupakan perbedaan, pertentangan, dan
ketidak sesuaian kepentingan, tujuan, dan kebutuhan dalam situasi formal, sosial, dan psikologis,
sehingga menjadi antagonis, ambivalen, dan emosional diantara individu dalam
suatu kelompok atau organisasi.
Dari definisi dan konklusi di atas
kelihatan adanya perbedaan pandangan para ahli manajemen terhadap konflik.
Sehubungan dengan ini, Muhyadi mengemukakan tiga pandangan terhadap konflik
yang terjadi di alam organisasi, sebagaimana dikutip oleh Soetopo, yaitu: aliran tradisional, alairan
behavioral, dan aliran interaksi.[7]
Aliran tardisional memandang knflik sebagai sesuatu yang jelek,tidak
menguntungkan, dan selalu menimbulkan kerugian dalam organisasi. Oleh sebab itu
konflik harus dicegah dan dikentikan. Cara yang efektif untuk menghindari dan
menghentikan konflik menurut faham ini adalah dengan menemukan sumbernya untuk
kemudian diatasi. Selanjutnya aliran behavioral memandang konflik
sebagai sesutu yang wajar terjadi dan alamiah dalam suatu organisasi. Karena
tanpa perlu diciptkan, konflik ini akan terjadi dalam organisasi. Berdasarkan pandangan
ini, maka konflik tidak selamanya dipandang sebagai sesutu yang merugikan, akan
tetapi juga bisa menguntungkan. Dengan demikian, maka konflik yang terjadi di
lingkungan organisasi harus dikelola dengan baik. Lebih lanjut aliran interaksi
memandang bahwa konflik dalam suatu organisasi harus diciptakan (dirangsang
timbulnya). Pandangan semacam ini dilatar belakangi oleh konsep bahwa
organisasi yang tenang, harmonis dan senantiasa dalam kedamaian akan cenderung
menjadi statis dan kurang inovatif. Oleh sebab itu oragnisasi semacam ini sulit
bersaing untuk maju.
Dalam kehidupan organisasi secara
riil, konflik bisa menguntungkan dan bisa pula merugikan organisasi. Konflik
yang menguntungkan disebut konflik fungsional, sedangkan konflik yang merugikan
disebut konflik disfungsional.[8] Contoh
konflik yang menguntungkan antara lain: memungkinkan munculnya ketidakpuasan
yang tersembunyi ke permukaan sehingga organisasi dapat mengadakan penyesuaian
dan mengatasinya, memungkinkan munculnya norma-norma baru yang sangat membentu
mengatasi kekurangan norma-norma lama, berguna untuk mengukur kemampuan
struktur kekuasaan yang ada pada organisasi, memperkuat ciri kelompok yang
ada sehingga kelompok itu memiliki
identitas yang pasti, menyatukan beberapa kelompok yang terpisah, dan
merangsang usaha untuk mengurangi stagnasi.
Di sisi lain konflik ini juga
merugikan organisasi, sebagai contoh dapat dikemukakan di sini antara lain:
Menyebabkan timbulnya perasaan tidak enak sehingga menghambat komunikasi, membawa
organisasi ke arah disintegrasi; menyebabkan ketegangan antar individe maupun antar kelompok; menghalangi kerjasama diantara individu dan menganggu saluran informasi; memindahkan
perhatian anggota organisasi dari tujuan organisasi.
Kefektifan organisasi dalam mencapai
titik optimum kinerja juga dipengaruhi oleh konflik yang muncul. Sehubungan
dengan ini Tosi mencoba menghubungkan antara konflik dengan kefektifan
organisasi, dengan menjelaskan bahwa kefektifan organisasi akan berada pada
level rendah mana kala level konflik berada pada posisi rendah; pada level
konflik sedang, keefektifan organisasi dapat mencapai titik optimum tinggi.
Sedangkan pada level konflik tinggi, kefektifan organisasi jadi menurun.
Organisasi yang level konfliknya rendah atau tidak ada konflik
sama sekali, cenderung mangalami stagnasi, tidak meningkat, dan gagal mencapai
kefektifan. Untuk itu seorang pemimpin harus menendalikan konflik pada level
sedang agar organisasi tersebut menjadi dinamis dan mencapai keefektifan yang tinggi. Jika konflik
berada pada level yang tinggi, dikhawatirkan organisasi sulit dingendalikan,
bahkan bisa jadi seluruh potensi organisasi digunakan untuk memikirkan solusi
konflik. Hal ini akan merugikan organisasi
bahkan bisa gagal mencapai kefektifan.
- Sumber Dan Faktor-Faktor Konflik
1.
Sumber Konflik
Menurut Smith[9],
konflik dalam suatu organisasi, termasuk di dalamnya organisasi sekolah pada
dasarnya bersumber dari tiga hal, yaitu: masalah komunikasi, struktur
organisasi dan faktor manusia itu sendiri.
Konflik sering terjadi akibat
kesalahan dalam komunikasi atau distorsi. Suatu kebenaran yang dikemukakan
dengan pola komunikasi yang tidak bersahabat, cenderung menjadi informasi yang
diterima dengan tidak baik. Di sisi lain struktur organisasi termasuk sektor
penyumbang konflik yang tidak kecil, karena masing-masing unit organisasi
memiliki tugas dan kepentingan yang bisa saling bergesekan dan berbenturan.
Kemudian penyumbang konflik yang tidak kalah banyaknya adalah faktor manusia.
Hal ini dimungkinkan karena adanya sifat-sifat kepribadian yang beragam dan
unik. Setiap pribadi dapat saja memiliki kepentingan dan kebutuhan yang
berbeda-beda, begitu juga sikap otoriter dan mau menang sendiri, dogmatis,
individualistis, dan sifat-sifat pribadi lainnya. Kesemuanya itu dapat
menimbulakn konflik di tubuh organisasi.
Schmuck, mengemukakan ada empat
unsur yang menjadi sumber konflik, yaitu: 1) adanya perbedaan fungsi dalam
organisasi; 2) adanya pertentangan kekuatan antar pribadi dan sub sistem; 3)
adanya perbedaan peranan, dan 4) adanya tekanan yang dipaksakan dari luar
organisasi.[10]
2.
faktor-faktor konflik
Beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi konflik antara lain:
1). Ciri umum pihak-pihak yang berkonflik, 2) hubungan pihak-pihak yang
berkonflik sebelum terjadinya konflik, 3) sifat masalah yang menimbulkan
konflik, 4) lingkungan sosial di mana konflik terjadi, 5) kepentingan
pihak-pihak yang berkonflik, 6) strategi
yang biasa digunakan oleh pihak-pihak yang berkonflik, dan 7) konsekuansi
konflik terhadap yang berkonflik dan terhadap pihak lain.
Seorang pemimpin
lembaga pendidikan harus memahami faktor-faktor yang mempengaruhi konflik untuk
menentukan strategi apa yang akan dipakai jika ingin mengatasi konflik. Perlu
dicermati bahwa konflik tidak terjadi dengan sendirinya, akan tetapi muncul dan
timbulnya suatu konflik tentu melalui proses tertentu.
- Strategi Dan Prinsip Pelaksanaan Manajemen Konflik
1.
Strategi Manajemen Konflik.
Penerapan strategi manajemen
diharapkan dapat menajdikan konflik dan pemecahannya sebagai upaya pendinamisasi
dan pengoptimalan pencapaian tujuan organisasi. Bagaimanapun, konflik pasti terjadi dalam organisasi, baik dalam skala besar maupun
skala kecil. Dengan demikian berarti bahwa besar kecilnya konflik yang dihadapi
harus dikelola dengan baik agar menjadi potensi untuk mefektifkan organisasi.
Miftah Thoha[11], mengemukakan strategi
manajemen konflik secara umum adalah: 1) strategi menang-kalah; 2) strategi
kalah-kalah 3) Strategi menang-menang.
Dalam strategi menang-kalah, salah
satu pihak menang dan salah satu pihak kalah, termasuk di dalamnya menggunakan
wewenang atau kekuasaan untuk menekan slah satu pihak. Bisa jadi pihak yang
kalah akan berperilaku non-produktif, kurang aktif, dan tidak
mengidentifikasikan dirinya dengan dengan tujuan organisasi.
Dalam strategi kalah-kalah, berarti
semua pihak yang berkonflik menjadi kalah.strategi ini dapat berupa kompromi
(keduanya sama-sama berkorban atas kepentingan), dan arbitrase (menggunakan
pihak ke tiga).
Strategi menang-menang yaitu konflik
dipecahkan melalui metode problem solving (pemecahan masalah).
Penelitian Scmuk (1976) menunjukkan
bahwa: 1) metode pemecahan masalah mempunyai hubungan positif dengan manajemen
konflik, 2) pemecahan masalah banyak dipergunakan oleh pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan, tetapi lebih menyukai bekerja sama.[12]
Lebih lanjut Scmuck mengemukakan
beberapa cara menggunakan manajemen konflik :
a. Jika menggunakan strategi
menang-kalah, cara yang ditempuh bisa:
·
menghilangkan pergolakan dengan menggunakan pertimbangan satu pihak.
·
Diadakan resolusi dengan keputusan pihak luar.
·
Persetujuan melalui wasit.
b. Menghindari konflik dengan
mengurangi interdepensi:
·
satu pihak menarik diri untuk bertindak lebih lanjut.
·
Mencari kesamaan jika terjadi konflik interes.
·
Memisahkan pihak-pihak yang berkonflik.
c. mengusahakan kesepakatan
melalui pemecahan masalah secara kreatif.
Secara umum,
cara ini dilakukan dengan cara menentukan masalah pokoknya, mengidentifikasi
alternatif, mengevaluasi alternatif, menentukan alternatif terbaik,
implementasi alternatif dan follow-up.
Teknik manajemen konflik lain yang
lebih komprehensif adalah: 1) teknik konfrontasi, 2) penerapan gaya
penyelesaian konflik, 3) memperbaiki praktik organisasi, dan 4) perubahan
peranan dan struktur organisasi.
Teknik konfrontasi terdiri atas
negosiasi/bergaining, mediasi (penengah), arbitrase (pihak luar/wasit),
keputusan integratif. Penerapan gaya penyelesaian konflik terdiri atas:
penghindaran, akomodasi, kompetisi. Kompromi, dan kolaborasi. Memperbaiki
praktik organisasi dilakukan dengan cara perbaikan rumusan tujuan,
menghilangkan salah arti, klarifikasi wewenang, perbaikan kebijakan, modifikasi
komunikasi, rotasi personel, sistem penghargaan, dan pelatihan. Perubahan peran
dan struktur organisasi meliputi: pengaturan peran bersama secara koordinatif,
mengkombinasikan unit-unit, merancang kembali struktur organisasi, pemindahan
dan pertukaran tempat tugas, memperlancar komunikasi antar unit yang
berkonflik.
Ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian seorang pimpinan organisasi pendidikan dalam menghadapi konflik yang
ada, yaitu mulailah dari sikap pasif menuju ke orientasi aktif, dan sangat
bergantung pada tingkat kematangan pihak-pihak yang mengalami konflik.
Pemahaman terhadap cara mengubah sikap dan perilaku orang yang dipimpin dan juga
hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan (power) atau otoritas (autority) sangat
diperlukan untuk lebih menguasai hal-hal yang berkaitan dengan manajemen
konflik.
2. Prinsip-prinsip Pelaksanaan
Manajemen Konflik.
Dalam melaksanakan manajemen konflik
ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh seorang manajer, organisator,
atau pemimpin, antara lain:
a. Perlakukanlah secara wajar
dan alamiah
Timbulnya
konflik dalam penyelenggaraan satuan pendidikan merupakan suatu hal yang wajar
dan alamiah. Karena sampai saat ini konflik masih dipandang sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari organisasi, dan hal ini musti daihadapi seorang pimpinan melalui
manajemen konflik. Oleh sebab itu, sebab itu pelaksanaan manajemen konflik
harus dilakukan secara wajar dan alamiah sebagaimana pelasanaan manajemen
bidang lainnya.
b. Pandanglah sebagai
dinamisator organisasi.
Konflik dapat dipandang sebagai
dinamisatororganisasi. Jika demikian halnya, maka organisasi tanpa konflik berarti
diam, statis dan lamban dalam mencapai kemajuan yang diharapkan. Walaupun
demikian, konflik yang ada harus ditata sedemikian rupa agar dinamika yang
terjadi benar-benar dapat menjadi sesuatu yang positif untuk menghasilkan
perubahan sekaligus mendudukung perkembangan dan pencapaian tujuan pendidikan.
c. Media Pengujian Kepemimpinan.
Kepemimpinan akan lebih teruji
dengan ketika menghadapi suatu konflik. Melalui manajemen konflik, seorang
pimpinan akan memiliki kepemimpinan yang dapat diandalkan untuk membawa roda
organisasi secara dinamis positif dalam mencapai tujuan organisasi di masa
depan. Dengan demikian jelaslah bahwa kepemimpianan seseorang tidak hanya diuji
saat membawa anggota mencapai tujuan berdasarkan rutinitas tugas formal saja,
akan tetapi lebih teruji lagi ketika menjalankan manajemen konflik.
d. Fleksibilitas strategi
Strategi manajemen konflik yang
digunakan para pimpinan organisasi mestinya sangat fleksibel, artinya pemilihan
penggunaan strategi dimaksud sangat bergantung pada: 1) jenis, materi konflik,
dan sumber penyebabnya, 2) karakteristik pihak-pihak yang berkonflik, 3)
sumberdaya yang dimiliki dan mendukung,4) kultur masyarakat dan iklim
organisasi, 5) antisipasi dampak konflik, dan 6) intensitas dan keluasan
konflik.
- Kriteria Keberahsilan Dan Prosedur Evaluasi Manajemen Konflik
1. Kriteria keberhasilan
Keberhasilan
manajemen konflik dapat diukur dari beberapa hal yang seyogyanya menjadi
langkah-langkah pelaksanaan manajemen konflik. Kriteria kebrhasilan ini
meliputi:
a. Kemampuan membuat perencanaan
analisis konflik.
Suatu
perencanaan analisis konflik yang baik, setidaknya harus menunjukkan adanya: 1)
deskripsi fenomena konflik yang terjadi, 2) identifikasi konflik, meliputi: latar
belakang atau sumber penyebab terjadinya konflik, faktor yang mempengaruhi konflik
dan akibat yang akan terjadi bila konflik diatasi atau dibiarkan, pengiringan
konflik ke dalam jenis yang mana, intensitas dan cakupan keluasannya, 3)
rumusan konflik yang sesungguhnya secara jelas dan tegas.
b. Kemmpuan melaksanakan
evaluasi konflik
Keberhasilan evaluasi konflik dapat
dilihat dari kemampuan seorang pemimpin atau manajer dalam menentukan kualitas
suatu konflik yang terjadi dalam suatu satuan pendidikan. Patokan yang dapat
dipakai dalam hal ini adalah: 1) tinggi-rendahnya intensitas timbulnya konflik.
2) luas tidaknya cakupan suatu konflik, 3) penentuan kualitas konflik
(ringan/kecil, sedang/menengah, atau besar/berat, 4) penentuan penyelesaian
konflik berdasarkan prioritas.
c. Kemampuan memilih strategi
manajemen konflik.
Kemampaun seorang pimpinan dalam
memilih strategi manajemen konflik yang tepat, akan sangat ditentukan oleh
kemampuan, keberanian, pengalaman, usaha, dan do’a, kematangan dirinya, serta
situasi dan kondisi yang ada. Disamping hal-hal di atas, kepedulian seorang
pimpinan terhadap prinsip-prinsip yang mesti dilaksanakan dalam manajemen
konflik juga akan menentukan keberhasilannya dalam tahap ini.
2. Prosedur Evaluasi Manajemen
Konflik.
Prosedur evaluasi yang baik akan
menggiring pada indikator keberhasilan suatu manajemen konflik. Oleh sebab itu,
untuk mengetahui keberhasilan dalam
menjalankan manajemen konflik setidaknya ada beberapa langkah yang perlu
dilaksanakan:
a. Perencanaan Evaluasi.
Dalam menyusun perencanaan evaluasi
konflik ini, meniscayakan penyusunan instrumen evalauasi. Item-item dalam
berbagai instrumen evaluasi manajemen konflik dapat dikembangkan berdasarkan
komponen manajemen konflik itu sendiri, yaitu: perencanaan analisis konflik,
evaluasi suatu konflik, dan strategi manajemen konflik.
Sehubungan dengan ini ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan oleh seorang manajer dalam perencanaan, antara
lain: 1)instrumen tersebut hanya sebagai contoh, dan dapat dikembangkan sesuai
dengan situasi, kondidi dan kebutuhan di lapangan. 2) perencanaan kapan
instrumen didistribusikan, siapa responden yang akan mengisi instrumen, bagaimana pelaksanaannya, di mana
tempatnya, dan analisisnya juga perlu direncanakan secara jelas. Perencanaan
analsis konflik harus memperhatikan prinsip-prinsip integratif, komprehensif,
objektif, dan berkesinambungan.
Sebagai ilustrasi contoh instrumen
evaluasi manajemen konflik, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
No | Uraian | Penilaian | ||||
BS | B | CB | KB | TD | ||
1 | Perencanaan Analisis Konflik: a. Deskripsi fenomena konflik. b. Identifikasi konflik (latar belakang, sumber penyebab, faktor yang mempengaruhi, jenis, intensitas dan cakupan keluasan konflik) c. Rumusan konflik | |||||
2 | Evaluasi Konflik
| |||||
3 | Strategi Manajemen Konflik a. ketepatan memilih strategi manajemen konflik b. Pelaksanaan strategi manajemen konflik c. Hasil pelaksanaan strategi manajemen konflik dan pengaruhnya terhadap efektivitas pencapaian tujuan organisasi. |
Keterangan:
BS : baik sekali, memiliki skor 5
B : baik, memiliki
skor 4
CB : Cukup baik, memiliki skor 3
KB : Kurang baik, memiliki skor 2
TB : tidak baik, memiliki skor 1
b. Pelaksanaan evaluasi.
Dalam pelaksanaan evaluasi ini
mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Mendistribusikan instrumen
kepada pihak-pihak yang dianggap mengetahui konflik yang terjadi.
2) Mintalah agar mereka bersedia
mengisi instrumen dengan jujur dan objektif.
3) Kumpulkanlah instrumen yang
telah diisi
4) Seleksi dan tabulasikan
datanya
5) Analisis data yang ada dengan
cara mencari rata-ratanya, baik per bagian maupun keseluruhannyauntuk menentukan
hasil akhir.
6) Interpretasikan hasil
analisis data dalam klasifikasi: baik sekali, baik, cukup baik, kurang baik,
dan tidak baik.
c. Menarik Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan
interpretasi terhadap data yang telah terkumpul, maka tahap selanjutnya dapat
dilakukan penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan ini dapat dilakukan dengan
sederhana, berdasarkan kategori sebagai berikut:
1) Baik sekali, berarti
manajemen konflik yang dilakukan para manajer perlu dipertahankan.
2) Baik, berarti manajemen
konflik yang dilakukan oleh para manajer perlu dipertahankan, namun perlu
sedikit penyempurnaan.
3) Cukup baik, berarti manajemen
konflik yang dilakukan oleh para manajer perlu penyempurnaan yang lebih banyak
4) Kurang baik dan tidak baik,
berarti manajemen konflik yang dilakukan para manajer atau pimpinan perlu
disempurnakan secara menyeluruh.
E.
KESIMPULAN
Konflik merupakan perbedaan,
pertentangan, dan ketidak sesuaian kepentingan, tujuan, dan kebutuhan dalam situasi formal, sosial, dan psikologis,
sehingga menjadi antagonis, ambivalen, dan emosional diantara individu dalam
suatu kelompok atau organisasi.
Konflik dalam suatu organisasi pada
dasarnya bersumber dari tiga hal, yaitu: masalah komunikasi, struktur
organisasi dan faktor manusia
Beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi konflik antara lain:
1). Ciri umum pihak-pihak yang berkonflik, 2) hubungan pihak-pihak yang
berkonflik sebelum terjadinya konflik, 3) sifat masalah yang menimbulkan
konflik, 4) lingkungan sosial di mana konflik terjadi, 5) kepentingan
pihak-pihak yang berkonflik, 6) strategi
yang biasa digunakan oleh pihak-pihak yang berkonflik, dan 7) konsekuansi
konflik terhadap yang berkonflik dan terhadap pihak lain.
Strategi Manajemen Konflik adalah:
1) strategi menang-kalah; 2) strategi
kalah-kalah 3) Strategi menang-menang.
Teknik manajemen konflik lain yang
lebih komprehensif adalah: 1) teknik konfrontasi, 2) penerapan gaya
penyelesaian konflik, 3) memperbaiki praktik organisasi, dan 4) perubahan
peranan dan struktur organisasi.
Prinsip-prinsip Pelaksanaan
Manajemen Konflik
a. Perlakukanlah secara wajar
dan alamiah
b. Pandanglah sebagai
dinamisator organisasi.
c. Media Pengujian Kepemimpinan.
d. Fleksibilitas strategi
Keberhasilan manajemen konflik dapat diukur dari beberapa hal :
·
Kemampuan membuat perencanaan analisis konflik
·
Kemmpuan melaksanakan evaluasi konflik
§ Kemampuan memilih strategi
manajemen konflik.
Prosedur Evaluasi Manajemen Konflik
a. Perencanaan Evaluasi.
Dalam menyusun perencanaan evaluasi konflik ini,
meniscayakan penyusunan instrumen evalauasi. Item-item dalam berbagai instrumen
evaluasi manajemen konflik dapat dikembangkan berdasarkan komponen manajemen
konflik itu sendiri
b. Pelaksanaan evaluasi.
c. Menarik Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi
terhadap data yang telah terkumpul, maka tahap selanjutnya dapat dilakukan
penarikan kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Kartono,Kartini. 1998 Pemimpin dan Kepemimpinan-apakah pemimpin
abnormal itu?, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Muhyadi. 1989, Organisasi: Teori, Struktur dan
Proses, Jakarta: Ditjen Dikti
Soetopo, Hendyat, 2010, Perilaku Organisasi:
Teori dan Praktik dalam Bidang Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Toha,Miftah, 1995, Kepemimpinan dalam
menejemen: Suatu pendekatan perilaku, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Winardi, J.,2004, Manajemen Perilaku Organisasi,Jakarta: Kencana.
[1] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi,teori dan praktek di bidang
Pendidikan,( Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2010) h. 266
[3] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan-apakah
pemimpin abnormal itu?, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998) cet.ke 8, h.
213
[5] Muhyadi, Organisasi: Teori,
struktur danproses, (jakarta: Ditjen Dikti, 1989) h. 259
[6] J.Winardi, Manajemen Perilaku
Organisasi,(Jakarta: Kencana, 2004), h. 384
[9] Hendyat Soetopo, Op.cit., h.272
[11] Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam manajemen:
Suatu pendekatan perilaku,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) h.169